Pada hakikatnya manusia adalah makhluk religious. Sejak jaman dahulu,
sebelum manusia mengenal agama, mereka telah percaya bahwa diluar alam yang
dapat dijangkau dengan perantaraan alat inderanya, diyakini adanya kekuatan
supranatural yang menguasai hidup alam smesta ini. Dan untuk dapat
berkomunikasi dan mendekatkan diri dengan kekuatan tersebut, maka di buatlah
mitos-mitos. Misalnya untuk untuk meminta sesuatu dari kekuatan-kekuatan
tersebut dilakukan bermacam-macam upacara, menyediakan sesajen-sesajen dan
memberikan korban korban dan sebagainya.
Kemudian setelah ada agama, manusia mulai menganutnya. Beragama
merupakan kebutuhan manusia karena manusia adalah mahluk religious dan mahluk
yang lemah sehingga memerlukan tempat bertopang. Manusia memerlukan agama demi
keselamatan hidupnya. Dapat dikatakan bahwa agama menjadi sandaran vertical
manusia. Manusia dapat menghayati agama melalui proses pendidikan agama
Ph. Kohnstamm berpendapat bahwa pendidikan agama seyogyanya menjadi
tugas orangtua dalam lingkungan keluarga. Karena pendidikan agama adalah
persoalan afektif dan kata hati. Pesan-pesan agama harus tersalur dari hati ke
hati. Pendidikan agama juga perlu diterapkan di sekolah.
Pemerintah dengan berlandaskan pada GBHN meamsukan pendidikan agama ke
dalam kurikulum di sekolah mulai dari SD sampai dengan perguruan tinggi. Dan
disini perlu ditekankan bahwa walaupun pengkajian agama melalu mata pelajaran
agama ditingkatkan. Namun harus disadari
bahwa pendidikan agama bukan semata-mata pelajaran agama yang hanya memberikan
pengetahuan tentang agama. Jadi, segi-segi afektif harus diutamakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar